BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada zaman perkembangan budaya, Masyarakat Hindu di
Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran Agama Hindu
warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual
dalam Falsafah Tri Hita Karana. Agama Hindu sangat pesat termasuk di Daerah
Bali dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para Arya dari Kerajaan
Majapahit sebagian besar hijrah ke Bali dan di daerah ini para Arya-Arya
tersebut lebih memantapkan ajaran-ajaran Agama Hindu sampai sekarang(http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=7,diakses
10 Maret 2011).
Dalam pelaksanaannya tetap berlandaskan pada ajaran-ajaran
Agama Hindu dan dalam kegiatan Upacara Keagamaan berpatokan pada Panca Yadnya. Upacara Pitra Yadnya merupakan salah
satu dari Panca Yadnya. Pitra Yandya
adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah
meninggal.
Wadah merupakan
salah satu sarana upacara yang dipergunakan dalam Upacara Pitra Yadnya pada saat pembakaran jenazah. Upacara pelebon
atau dikenal juga sebagai ngaben adalah prosesi pembakaran mayat yang
bertujuan untuk mengembalikan unsur-unsur pembentuk tubuh manusia kembali ke alamnya
serta melepaskannya dari ikatan keduniawian. Sebuah upacara yang bila dipandang
oleh orang selain Hindu Bali sebagai prosesi yang rumit namun kenyataannya
sangat sederhana untuk dipahami (http://
www.indonesia.travel / id / news
/detail/178/pengusungan-naga-banda-pelebon-2-november-2010, diakses tanggal
14 Mei 2011)
Upacara ini adalah salah satu tradisi budaya Bali yang
sangat di kenal sampai ke manca negara karena kemegahan dan keunikannya.
Terlebih untuk pelebon dari keluarga kerajaan di Bali yang akan lebih meriah
dan dapat menghabiskan biaya hingga miliaran rupiah dengan persiapan yang
memakan waktu berbulan-bulan terutama dalam pembuatan sarana – prasarana
upacara tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa Yang Dimaksud Wadah?
- Bagaimana Perkembangan Wadah di Bali?
- Seni Apa Saja Yang Terdapat Pada Wadah Dalam Upacara Pitra Yadnya ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah agar para
mahasiswa pada khususnya lebih memahami tentang sarana pitra yadnya khususnya wadah, perkembangan wadah di Bali serta makna wadah
dalam upacara Pitra Yadnya sehingga
memiliki pemahaman yang ilmiah. Selain itu merupakan salah satu bentuk evaluasi
belajar dan untuk melengakpi persyaratan akademis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Wadah
Dalam upacara pitra yadnya, bade dan wadah merupakan sarana yang penting
tetapi tidak harus mutlak ada. Menurut I Gusti Ketut Kaler (alm) dalam bukunya
''Ngaben, Mengapa Mayat Dibakar?'' (Yayasan Dharma Naradha, 1993), bade atau wadah boleh dan penting dibuat serta
digunakan, tetapi bukanlah esensial. Artinya, tanpa bade pun upacara pitra
yadnya pengabenan sudah bisa disebut sah.
Penekun lontar sekaligus undagi bade asal Kesiman I
Wayan Turun mengatakan bade dan wadah
merupakan simbol dari sukuning (bagian bawah) dari Gunung Maliawan. Bade atau wadah memiliki fungsi sama sebagai
sarana pemberangkatan jenazah ke setra dalam upacara pitra yadnya. Namun, secara
fisik, kedua sarana itu sebetulnya memiliki perbedaan. Ditegaskan, jika
menggunakan tumpang (atapnya bertingkat-red) disebut bade, sedangkan yang tidak
bertumpang disebut wadah. Namun, wadah bisa disebut bade jika menggunakan
palih bade seperti bacem, batur, taman, sari (http://www.network54.com/Forum/178267/message/1011690255/Konsep+dan+Filosofi+%27%27Bade%27%27+Dalam+Upacara+Pitra+Yadnya,
diakses tanggal 14 Mei 2011 ).
Seorang undagi mesti tahu sedikit aksara Bali dan
senang membaca tatwa-tatwa atau prasasti karena di sana terdapat bermacam-macam
aturan mengenai pembuatan bade serta filosofi yang terkandung di dalamnya.
Selain berbentuk bade dan wadah, ada juga sarana pitra yadnya yang bisa disebut bade namun
bentuknya sedikit berbeda, yakni balai pebasmian. Bentuknya seperti bangunan
balai yang di dalamnya berisi bale kantil tempat jenazah, dilengkapi dengan
pepalihan seperti boma bersayap, macam-macam kekarangan, kekitir, brapakat,
dll. Jika dikaitkan dengan catur warna dalam konsep profesi golongan manusia di
Bali, ada aturan khusus penggunaan bade. Misalnya, keturunan mana saja yang
boleh menggunakan bade bertumpang solas
(11), sanga (9), pitu (7), lima (5) dan seterusnya.
Ada sekitar 20 kelengkapan bade atau wadah yakni ringring, kakitir di tiap
sudut tumpang, kapas atau mangle, magunung tajak (tiap sudut berisi hiasan
gegunungan), magender wayang, boma makampid (bersayap), garuda mungkur, apit
lawang, brekapat, masaka anda, palih bade -- bacem, batur, taman sari, atapnya
bertumpang, kekendon, macam-macam kekarangan menurut tempat, tetamanan atau
bunga-bungaan, pakis, ulon, bantala, badan dara dan gagodegan. Namun, dari
sekian kelengkapan bade itu yang paling inti harus ada ringring, kakitir,
kapas/mangle, atapnya bertumpang, masaka anda, boma makampid dan magunung tajak (http://
www.indonesia.travel / id /news/detail/178/pengusungan-naga-banda-pelebon-2-november-2010,diakses
tanggal 14 Mei 2011)
Dalam pembuatan bade, wadah dan kelengkapan lainnya mesti berpegangan pada lontar Dharma
Laksana. Dalam lontar itu ada aturan dasar yang mesti dipakai seorang undagi
bade. Artinya, dalam pembuatan itu tidak boleh hanya mengutamakan seni, tetapi
harus sesuai dengan aturan. Misalnya, seseorang minta bade palih taman,
mestinya seseorang tukang (undagi) mesti tahu apa itu palih taman. Jangan
sampai karena kekurangtahuan justru yang dibuat palih gunung atau palih tanjak.
Wadah sesungguhnya
adalah karya nyata sebuah kewajiban manusia secara langsung turun tangan ikut
bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ( Bhuana Agung dan Bhuana Alit )
secara timbal balik, nantinya alam akan memberikan kesejahteraan kepada manusia
secara otomatis. Lambang – lambang yang
digambarkan dalam sarana wadah sebenarnya member arah yang jelas kepada
manusia bagaimana dan kemana arah tujuan hidup, khususnya konsep pengelolaan
hidup menuju kebahagiaan sekala dan niskala.
2.2 Perkembangan
Wadah di Bali
Sekitar
abad ke XVI Dalem sebagai penguasa tertinggi di Pulau Bali membuat tata aturan
bagi orang-orang yang meninggal terutama pejabat-pejabat pemerintahan dan para
pendeta. Diperkiraka peraturan mengenai wadah
petulangan dan gelar-gelar kebangsawanan ditetapkan pada zaman Dalem Dimade
karena sejak saat itulah baru dikenal gelar I Gusti Agung untuk jabatan Patih
Agung dan I Gusti untuk jabatan penguasa-penguasa daerah di bawah Dalem
termasuk para patih. Ini yang nantinya menjadi tata aturan dan tradisi
berlakunya penggunaan wadah.
Penggunaan wadah menjadi berkembang
berdasarkan lapisan masyarakat berupa fungsi dan keahlian yang dimiliki oleh
masyarakat tertentu ( Darwini, 2008: 5).
Sebelum
zaman Dalem Dimade hanya dikenal sebutan Ki atau Arya. Kemungkinan juga
pedarman-pedarman yang ada di Besakih di kompleks sebelah timur penataran agung
dibangun pada zaman ini dimana para ksatria yang memegang wilayah diperkenankan
membuat pedarman dengan tumpang merunya dibentuk menurut kekuasaan atau
kedudukannya waktu itu.
Aturan ini
diwarisi turun temurun oleh warganya masing-masing. Demikianlah para pendeta
yang meninggal ditetapkan memakai wadah
yang berbentuk padmasana. Para
raja-raja di bawah kekuasaan Dalem dan pejabat-pejabat yang berkuasa waktu itu
menggunakan wadah dengan tumpang-tumpang
tertentu sesuai dengan kedudukannya yang telah diatur oleh Dalem.
Tumpang-tumpang bade untuk para
pejabat dan turunannya dibatasi dari tumpang tiga sampai tumpang Sembilan.
Demikian juga petulangannya
ditetapkan bagi mereka yang boleh memakai lembu,
singa, naga kaang, gajah mina dan sebagainya. Umumnya para ksatria hampir
semuanya memakai petulangan lembu
sedangkan untuk golongan khusus lainnya berdasarkan fungsi atau keahliannya
memakai petulangan singa, gajah mina,
dan naga kaang. Khusus untuk Dalem beserta turunannya bisa
memakai tumpang sebelas dengan naga banda dan petulangan lembu.
Dalam
mitologi Hindu di Bali, kulit bumi yang berlapis-lapis dan sungai yang
mengalir berliku-liku digambarkan sebagai naga-naga yang membelit inti bumi,
dimana inti bumi dilukiskan sebagai Bedawang
Nala atau Bedawang Api. Konon
penyebab terjadinya gempa bumi adalah karena naga-naga yang bertugas membelit Bedawang Nala ini terlena sekejap
sehingga Bedawang dapat bergerak dan
terjadilah gempa bumi (http://sites.
google.com/site/lembujaya/nagabanda, di akses tanggal 14 mei 2011).
Induk-induk
naga dikenal dengan nama Sang Hyang
Anantabhoga, Sang Hyang Basuki dan Naga
Taksaka. Sang Hyang Anantabhoga
menggambarkan lapisan kulit bumi yang memikul alam kita ini dengan punggungnya
(Anantabhogastawa). Dari kulit bumi
inilah timbul segala jenis tumbuh-tumbuhan yang diibaratkan bulu-bulu naga yang
memberikan kita sandang pangan yang tidak habis-habisnya. Kata Anantabhoga berasal dari kata ananta yang berarti tidak habis dan bhiga yang berarti pangan.
Sementara Sang Hyang Naga Basuki, dalam Basukistawa dilukiskan dengan Indragiri atau penguasa gunung. Gunung
dalam pandangan umat Hindu di Bali bukan saja sebagai linggih atau singgasana Ida Batara tetapi juga merupakan hulunya
mata air yang melahirkan sungai yang berliku-liku, yang menyebabkan tanah
menjadi subur.
Naga Taksaka digambarkan sebagai naga bersayap yang menguasai
udara sehingga udara dapat memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Sebab
itulah Dalem yang menjadi raja Pulau Bali pada zaman dulu menetapkan bahwa
beliau dan turunannya jika meninggal dapat memakai Naga Banda sebagai penebusan terhadap ikatan duniawi sewaktu beliau
masih hidup. Rasa keterikatan inilah yang harus diputuskan dengan cara
menghidupkan satwam, dalam upacara
disimbolkan dengan pendeta yang memanah Naga
Banda. Apabila ikatan duniawi ini tidak dapat dilepaskan maka Sang Hyang Atma akan dililit
dibawa ke neraka. Namun, apabila ikatan ini mampu dilepaskan maka Sang Hyang Anantabhoga akan menjadi
kendaraan Sang Hyang Atma untuk pergi
ke surga ( Soebandi, 1990:14).
2.3
Seni Yang
Terdapat Dalam Wadah pada Upacara Pitra Yadnya
Secara mengkhusus jenis wadah berdasarkan bentuknya terdiri atas empat jenis yaitu Padma, Bade, Joli dan Pepaga. Sedangkan wadah berdasarkan penggunaan menurut kelompok social yang
menggunakan atau menurut wangsa orang yang akan diabenkan, ada wadah
tumpang sebelas , Sembilan, tujuh, dan sebagainya sehingga pada akhirnya muncul
pembedaan berupa istilah wadah Brahmana,
Ksatria, Wesia, dan Sudra ( Darwini, 2008 : 72).
Ornamen wadah adalah
hiasan yang menempel atau berada menjadi satu kesatuan pada suatu bangunan wadah. Secara umum ornamen – ornamen yang
dipergunakan pada wadah dalam upacara Pitra Yadnya meliputi :
a.
Karang Gajah
Karang gajah adalah
ornamen bangunan wadah yang berbentuk
seperti gajah lengkap dengan taring dan belalainya, namun penggambaran karang
gajah ini hanya sebatas kepalanya saja. Penggambaran ini sama dengan adanya
kepercayaan umat Hindu terhadap dewa yang menyerupai manusia berkepala ( Ganesha ) gajah ( Darwini, 2008: 76).
b.
Karang Sari
Karang Sari adalah
ornamen berbentuk seperti bunga –
bungaan dan seringkali dilengkapi dengan dedaunan ( Darwini, 2008:78).
c.
Karang Guak
Karang Guak adalah ornamen berbentuk seperti burung,
dengan penggambaran burung tersebut hanya sebatas kepalanya saja. Penggunaan
karang guak ini merupakan simbolisasi terhadap kepercayaan masyarakat Hindu –
Bali ketika ada kematian dalam suatu keluarga pasti terlihat dan terdengar ada
burung gagak atau guak yang berputar – putar disekitar areal rumah sambil
mengeluarkan suarnaya. Disamping itu gagak atau guak merupakan salah satu wujud
manifestasi Tuhan sebagaimana diceritakan Ganapati
berubah wujud menjadi seekor gagak ( Darwini, 2008: 79).
d.
Garuda
Garuda merupakan
burung matahari atau burung rajawali yang dianggap sebagai lambang di dunia
atas karena merupakan kendaraan dewa Wisnu. Ornamen garuda
banyak kita jumpai dipergunakan untuk menghias bagian belakang dari padmasana, bagian belakang dari wadah, sebagai kober atau bendera di dalam banten
padudusan dan adapula nasi yang digambarkan berbentuk garuda yang dinamai nasi
garuda.
Penggunaan ornamen garuda
pada wadah tidak begitu saja dipergunakan,
tetapi terkandung suatu simbolisasi yang terkait dengan beberapa cerita salah
satunya tentang Sang Garuda dalam Adi
Parwa dimulai sejak kelahiran Sang Garuda
serta misi yang diembannya unuk membebaskan ibu kandungnya dari perbudakan atau
penjajahan yang dilakukan oleh Sang Kadru.
Dalam kekawin Bhomantaka
dijelaskan peranan Sang Garuda membantu
Sri Krsna yang bertempur menghadapi
raja raksasa yang bernama Bhoma ( Darwini, 2008: 80).
Dari berbagai cerita di atas maka penggunaan ornamen garuda pada wadah adalah sebagai salah satu aspek kemahakuasaan Tuhan yang
mempunyai misi untuk membebaskan manusia ( orang yang di abenkan ) dari belenggu perbudakan atau penjajahan, baik secara
jasmani maupun rohani yang menyesatkan dan akhirnya dapat bersatu kembali ke
asal-Nya yaitu Brahman.
e.
Bhoma
Dalam Korawasrama
diceritakan bagaimana kelahiran Bhoma yang dimulai dari Dewa Brahma dan Dewa Wisniu sama – sama mengaku diri paling
sakti yang pada akhirnya mereka sepakat mengadu kesaktian massing – masing yang
mengantarkan Dewa Wisnu bertemu
dengan Dewi Pertiwi sehingga lahirlah
Sang Bhoma.
Oleh karenanya wujud Bhoma dalam tradisi Hindu – Bali dilukiskan dengan bentuk kepala
memegang daun dan bunga. Bhoma dalam
penggunaannya pada wadah melambangkan
manusia yang terikat pada nafsu duniawi.
Berdasarkan Lontar Asta Kosala Kosali Wadah, ornamen bhoma pada wadah tidak
sembarangan dibuat, ada tata cara untuk membuat bhoma sehingga memberikan keselamatan secara sekala dan niskala pada
aspek vertikal dan horizontal. Pada tahap awal pembuatan, dibuatkan suatu
upacara dengan disertai banten dan mantra ( Darwini, 2008:83).
f.
Wilmana
Wilmana dan
acintya merupakan ornamen yang
diletakkan pada bagian muka dari dinding dibelakang pada bagian atas dari wadah. Wilamana sangat dikenal dalam pementasan wayang wong Bali sebagai sosok manusia garuda yang mengepakkan
kedua sayap bersiap – siap akan terbang naik ke atas. Simbolisasi penggunaan wilmana pada wadah adalah sebagai kendaraan yang membawa dan menghantarkan roh orang yang meninggal naik menuju
alam niskala ( Darwini, 2008: 86).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Wadah sesungguhnya
adalah karya nyata sebuah kewajiban manusia secara langsung turun tangan ikut
bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ( Bhuana Agung dan Bhuana Alit )
secara timbal balik, nantinya alam akan memberikan kesejahteraan kepada manusia
secara otomatis. Lambang – lambang yang
digambarkan dalam sarana wadah sebenarnya member arah yang jelas kepada
manusia bagaimana dan kemana arah tujuan hidup, khususnya konsep pengelolaan
hidup menuju kebahagiaan sekala dan niskala.
Diperkiraka
peraturan mengenai wadah petulangan
dan gelar-gelar kebangsawanan ditetapkan pada zaman Dalem Dimade karena sejak
saat itulah baru dikenal gelar I Gusti Agung untuk jabatan Patih Agung dan I
Gusti untuk jabatan penguasa-penguasa daerah di bawah Dalem termasuk para
patih. Ini yang nantinya menjadi tata aturan dan tradisi berlakunya
penggunaan wadah. Penggunaan wadah menjadi berkembang berdasarkan
lapisan masyarakat berupa fungsi dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat
tertentu
Ornamen wadah adalah
hiasan yang menempel atau berada menjadi satu kesatuan pada suatu bangunan wadah. Secara umum ornamen – ornamen yang
dipergunakan pada wadah dalam upacara Pitra Yadnya meliputi : Karang
Gajah, Karang Sari, Karang Guak, Garuda, Bhoma, Wilmana.
3.2 Saran
Dengan mengetahui seni pada wadah dalam Upacara Pitra Yadnya diharapkan Umat Hindu bisa
melestarikan budaya turun temurun. Oleh karena itu, melalui makalah ini kami
harapkan Umat Hindu secara umum dan mahasiswa pada khususnya agar melestarikan berbagai
kesenian terutama seni yang ada pada sarana upacara. Apabila ada uraian atau
penjelasan saya di atas dianggap kurang maka saya mohon maaf, karena saya sadar
akan kekurangan-kekurangannya. Untuk itu saya minta dari pembaca berupa kritik,
saran serta masukan yang sifatnya membangun, saya akan menerima dengan tangan
terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Darwini, Gusti Ayu.2008.Wadah
Dalam Upacara Ngaben Ngerit di Desa Takmung. Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten
Bangli.
Soebandi, Ketut.2001.Babad Pasek.Denpasar:
Yayasan Adhi Sapta Kerthi.
Titib, I Made.2003.Teologi dan
Simbol – Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
(http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=7,diakses
10 Maret
2011).
2011).
(http://
www.indonesia.travel / id / news
/detail/178/pengusungan-naga-banda-pelebon-2-november-2010, diakses tanggal
14 Mei 2011).
(http://www.network54.com/Forum/178267/message/1011690255/Konsep+dan+Filosofi+%27%27Bade%27%27+Dalam+Upacara+Pitra+Yadnya,
diakses tanggal 14 Mei 2011 ).
(http://sites.
google.com/site/lembujaya/nagabanda, di akses tanggal 14 mei 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar