Rabu, 10 Juni 2015

SENI PADA WADAH ( DALAM UPACARA PITRA YADNYA )



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Pada zaman perkembangan budaya, Masyarakat Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual dalam Falsafah Tri Hita Karana. Agama Hindu sangat pesat termasuk di Daerah Bali dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para Arya dari Kerajaan Majapahit sebagian besar hijrah ke Bali dan di daerah ini para Arya-Arya tersebut lebih memantapkan ajaran-ajaran Agama Hindu sampai sekarang(http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=7,diakses 10 Maret 2011).
Dalam pelaksanaannya tetap berlandaskan pada ajaran-ajaran Agama Hindu dan dalam kegiatan Upacara Keagamaan berpatokan pada Panca Yadnya. Upacara Pitra Yadnya merupakan salah satu dari Panca Yadnya. Pitra Yandya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal.
Wadah merupakan salah satu sarana upacara yang dipergunakan dalam Upacara Pitra Yadnya pada saat pembakaran jenazah. Upacara pelebon atau dikenal juga sebagai ngaben adalah prosesi pembakaran mayat yang bertujuan untuk mengembalikan unsur-unsur pembentuk tubuh manusia kembali ke alamnya serta melepaskannya dari ikatan keduniawian. Sebuah upacara yang bila dipandang oleh orang selain Hindu Bali sebagai prosesi yang rumit namun kenyataannya sangat sederhana untuk dipahami (http:// www.indonesia.travel / id / news /detail/178/pengusungan-naga-banda-pelebon-2-november-2010, diakses tanggal 14 Mei 2011)
Upacara ini adalah salah satu tradisi budaya Bali yang sangat di kenal sampai ke manca negara karena kemegahan dan keunikannya. Terlebih untuk pelebon dari keluarga kerajaan di Bali yang akan lebih meriah dan dapat menghabiskan biaya hingga miliaran rupiah dengan persiapan yang memakan waktu berbulan-bulan terutama dalam pembuatan sarana – prasarana upacara tersebut.
1.2    Rumusan Masalah
  1. Apa Yang Dimaksud Wadah?
  2. Bagaimana Perkembangan Wadah di Bali?
  3. Seni Apa Saja Yang Terdapat Pada Wadah Dalam Upacara Pitra Yadnya ?

1.3    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah agar para mahasiswa pada khususnya lebih memahami tentang sarana pitra yadnya khususnya wadah, perkembangan wadah di Bali serta makna wadah dalam upacara Pitra Yadnya sehingga memiliki pemahaman yang ilmiah. Selain itu merupakan salah satu bentuk evaluasi belajar dan untuk melengakpi persyaratan akademis.




  
BAB II
PEMBAHASAN


2.1       Pengertian Wadah
Dalam upacara pitra yadnya, bade dan wadah merupakan sarana yang penting tetapi tidak harus mutlak ada. Menurut I Gusti Ketut Kaler (alm) dalam bukunya ''Ngaben, Mengapa Mayat Dibakar?'' (Yayasan Dharma Naradha, 1993), bade atau wadah boleh dan penting dibuat serta digunakan, tetapi bukanlah esensial. Artinya, tanpa bade pun upacara pitra yadnya pengabenan sudah bisa disebut sah.
Penekun lontar sekaligus undagi bade asal Kesiman I Wayan Turun mengatakan bade dan wadah merupakan simbol dari sukuning (bagian bawah) dari Gunung Maliawan. Bade atau wadah memiliki fungsi sama sebagai sarana pemberangkatan jenazah ke setra dalam upacara pitra yadnya. Namun, secara fisik, kedua sarana itu sebetulnya memiliki perbedaan. Ditegaskan, jika menggunakan tumpang (atapnya bertingkat-red) disebut bade, sedangkan yang tidak bertumpang disebut wadah. Namun, wadah bisa disebut bade jika menggunakan palih bade seperti bacem, batur, taman, sari (http://www.network54.com/Forum/178267/message/1011690255/Konsep+dan+Filosofi+%27%27Bade%27%27+Dalam+Upacara+Pitra+Yadnya, diakses tanggal 14 Mei 2011 ).
Seorang undagi mesti tahu sedikit aksara Bali dan senang membaca tatwa-tatwa atau prasasti karena di sana terdapat bermacam-macam aturan mengenai pembuatan bade serta filosofi yang terkandung di dalamnya.
Selain berbentuk bade dan wadah, ada juga sarana pitra yadnya yang bisa disebut bade namun bentuknya sedikit berbeda, yakni balai pebasmian. Bentuknya seperti bangunan balai yang di dalamnya berisi bale kantil tempat jenazah, dilengkapi dengan pepalihan seperti boma bersayap, macam-macam kekarangan, kekitir, brapakat, dll. Jika dikaitkan dengan catur warna dalam konsep profesi golongan manusia di Bali, ada aturan khusus penggunaan bade. Misalnya, keturunan mana saja yang boleh menggunakan bade bertumpang solas (11), sanga (9), pitu (7), lima (5) dan seterusnya.
Ada sekitar 20 kelengkapan bade atau wadah yakni ringring, kakitir di tiap sudut tumpang, kapas atau mangle, magunung tajak (tiap sudut berisi hiasan gegunungan), magender wayang, boma makampid (bersayap), garuda mungkur, apit lawang, brekapat, masaka anda, palih bade -- bacem, batur, taman sari, atapnya bertumpang, kekendon, macam-macam kekarangan menurut tempat, tetamanan atau bunga-bungaan, pakis, ulon, bantala, badan dara dan gagodegan. Namun, dari sekian kelengkapan bade itu yang paling inti harus ada ringring, kakitir, kapas/mangle, atapnya bertumpang, masaka anda, boma makampid dan magunung tajak  (http:// www.indonesia.travel / id /news/detail/178/pengusungan-naga-banda-pelebon-2-november-2010,diakses tanggal 14 Mei 2011)
Dalam pembuatan bade, wadah dan kelengkapan lainnya mesti berpegangan pada lontar Dharma Laksana. Dalam lontar itu ada aturan dasar yang mesti dipakai seorang undagi bade. Artinya, dalam pembuatan itu tidak boleh hanya mengutamakan seni, tetapi harus sesuai dengan aturan. Misalnya, seseorang minta bade palih taman, mestinya seseorang tukang (undagi) mesti tahu apa itu palih taman. Jangan sampai karena kekurangtahuan justru yang dibuat palih gunung atau palih tanjak.
Wadah sesungguhnya adalah karya nyata sebuah kewajiban manusia secara langsung turun tangan ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ( Bhuana Agung dan Bhuana Alit ) secara timbal balik, nantinya alam akan memberikan kesejahteraan kepada manusia secara otomatis.  Lambang – lambang yang digambarkan dalam sarana wadah  sebenarnya member arah yang jelas kepada manusia bagaimana dan kemana arah tujuan hidup, khususnya konsep pengelolaan hidup menuju kebahagiaan sekala dan niskala.

2.2       Perkembangan Wadah di Bali
Sekitar abad ke XVI Dalem sebagai penguasa tertinggi di Pulau Bali membuat tata aturan bagi orang-orang yang meninggal terutama pejabat-pejabat pemerintahan dan para pendeta. Diperkiraka peraturan mengenai wadah petulangan dan gelar-gelar kebangsawanan ditetapkan pada zaman Dalem Dimade karena sejak saat itulah baru dikenal gelar I Gusti Agung untuk jabatan Patih Agung dan I Gusti untuk jabatan penguasa-penguasa daerah di bawah Dalem termasuk para patih. Ini yang nantinya menjadi tata aturan dan tradisi berlakunya penggunaan wadah. Penggunaan wadah menjadi berkembang berdasarkan lapisan masyarakat berupa fungsi dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat tertentu  ( Darwini, 2008: 5).
Sebelum zaman Dalem Dimade hanya dikenal sebutan Ki atau Arya. Kemungkinan juga pedarman-pedarman yang ada di Besakih di kompleks sebelah timur penataran agung dibangun pada zaman ini dimana para ksatria yang memegang wilayah diperkenankan membuat pedarman dengan tumpang merunya dibentuk menurut kekuasaan atau kedudukannya waktu itu.
Aturan ini diwarisi turun temurun oleh warganya masing-masing. Demikianlah para pendeta yang meninggal ditetapkan memakai wadah yang berbentuk padmasana. Para raja-raja di bawah kekuasaan Dalem dan pejabat-pejabat yang berkuasa waktu itu menggunakan wadah dengan tumpang-tumpang tertentu sesuai dengan kedudukannya yang telah diatur oleh Dalem. Tumpang-tumpang bade untuk para pejabat dan turunannya dibatasi dari tumpang tiga sampai tumpang Sembilan. Demikian juga petulangannya ditetapkan bagi mereka yang boleh memakai lembu, singa, naga kaang, gajah mina dan sebagainya. Umumnya para ksatria hampir semuanya memakai petulangan lembu sedangkan untuk golongan khusus lainnya berdasarkan fungsi atau keahliannya memakai petulangan singa, gajah mina, dan naga kaang. Khusus untuk Dalem beserta turunannya bisa memakai tumpang sebelas dengan naga banda dan petulangan lembu.
Dalam mitologi Hindu di Bali, kulit bumi  yang berlapis-lapis dan sungai yang mengalir berliku-liku digambarkan sebagai naga-naga yang membelit inti bumi, dimana inti bumi dilukiskan sebagai Bedawang Nala atau Bedawang Api. Konon penyebab terjadinya gempa bumi adalah karena naga-naga yang bertugas membelit Bedawang Nala ini terlena sekejap sehingga Bedawang dapat bergerak dan terjadilah gempa bumi (http://sites. google.com/site/lembujaya/nagabanda, di akses tanggal 14 mei 2011).
Induk-induk naga dikenal dengan nama Sang Hyang Anantabhoga, Sang Hyang Basuki dan Naga Taksaka. Sang Hyang Anantabhoga menggambarkan lapisan kulit bumi yang memikul alam kita ini dengan punggungnya (Anantabhogastawa). Dari kulit bumi inilah timbul segala jenis tumbuh-tumbuhan yang diibaratkan bulu-bulu naga yang memberikan kita sandang pangan yang tidak habis-habisnya. Kata Anantabhoga berasal dari kata ananta yang berarti tidak habis dan bhiga yang berarti pangan.
Sementara Sang Hyang Naga Basuki, dalam Basukistawa dilukiskan dengan Indragiri atau penguasa gunung. Gunung dalam pandangan umat Hindu di Bali bukan saja sebagai linggih atau singgasana Ida Batara tetapi juga merupakan hulunya mata air yang melahirkan sungai yang berliku-liku, yang menyebabkan tanah menjadi subur.
Naga Taksaka digambarkan sebagai naga bersayap yang menguasai udara sehingga udara dapat memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Sebab itulah Dalem yang menjadi raja Pulau Bali pada zaman dulu menetapkan bahwa beliau dan turunannya jika meninggal dapat memakai Naga Banda sebagai penebusan terhadap ikatan duniawi sewaktu beliau masih hidup. Rasa keterikatan inilah yang harus diputuskan  dengan cara menghidupkan satwam, dalam upacara disimbolkan dengan pendeta yang memanah Naga Banda. Apabila ikatan duniawi ini tidak dapat dilepaskan maka Sang Hyang Atma akan dililit  dibawa ke neraka. Namun, apabila ikatan ini mampu dilepaskan maka Sang Hyang Anantabhoga akan menjadi kendaraan Sang Hyang Atma untuk pergi ke surga ( Soebandi, 1990:14).

2.3              Seni Yang Terdapat Dalam Wadah pada Upacara Pitra Yadnya
Secara mengkhusus jenis wadah berdasarkan bentuknya terdiri atas empat jenis yaitu Padma, Bade, Joli dan Pepaga. Sedangkan wadah berdasarkan penggunaan menurut kelompok social yang menggunakan atau menurut wangsa orang yang akan diabenkan, ada wadah tumpang sebelas , Sembilan, tujuh, dan sebagainya sehingga pada akhirnya muncul pembedaan berupa istilah wadah Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra ( Darwini, 2008 : 72).
Ornamen wadah adalah hiasan yang menempel atau berada menjadi satu kesatuan pada suatu bangunan wadah.  Secara umum ornamen – ornamen yang dipergunakan pada wadah  dalam upacara Pitra Yadnya meliputi :
a.       Karang Gajah
Karang gajah adalah ornamen bangunan wadah yang berbentuk seperti gajah lengkap dengan taring dan belalainya, namun penggambaran karang gajah ini hanya sebatas kepalanya saja. Penggambaran ini sama dengan adanya kepercayaan umat Hindu terhadap dewa yang menyerupai manusia berkepala ( Ganesha ) gajah ( Darwini, 2008: 76).

b.      Karang Sari
Karang Sari adalah ornamen  berbentuk seperti bunga – bungaan dan seringkali dilengkapi dengan dedaunan ( Darwini, 2008:78).

c.       Karang Guak
Karang Guak  adalah ornamen berbentuk seperti burung, dengan penggambaran burung tersebut hanya sebatas kepalanya saja. Penggunaan karang guak ini merupakan simbolisasi terhadap kepercayaan masyarakat Hindu – Bali ketika ada kematian dalam suatu keluarga pasti terlihat dan terdengar ada burung gagak atau guak yang berputar – putar disekitar areal rumah sambil mengeluarkan suarnaya. Disamping itu gagak atau guak merupakan salah satu wujud manifestasi Tuhan sebagaimana diceritakan Ganapati berubah wujud menjadi seekor gagak ( Darwini, 2008: 79).

d.      Garuda
Garuda merupakan burung matahari atau burung rajawali yang dianggap sebagai lambang di dunia atas karena merupakan kendaraan dewa Wisnu.  Ornamen garuda banyak kita jumpai dipergunakan untuk menghias bagian belakang dari padmasana, bagian belakang dari wadah, sebagai kober atau bendera di dalam banten padudusan dan adapula nasi yang digambarkan berbentuk garuda yang dinamai nasi garuda.
Penggunaan ornamen garuda pada wadah tidak begitu saja dipergunakan, tetapi terkandung suatu simbolisasi yang terkait dengan beberapa cerita salah satunya tentang Sang Garuda dalam Adi Parwa dimulai sejak kelahiran Sang Garuda serta misi yang diembannya unuk membebaskan ibu kandungnya dari perbudakan atau penjajahan yang dilakukan oleh Sang Kadru.
Dalam kekawin Bhomantaka dijelaskan peranan Sang Garuda membantu Sri Krsna yang bertempur menghadapi raja raksasa yang bernama Bhoma ( Darwini, 2008: 80).
Dari berbagai cerita di atas maka penggunaan ornamen garuda pada wadah adalah sebagai salah satu aspek kemahakuasaan Tuhan yang mempunyai misi untuk membebaskan manusia ( orang yang di abenkan ) dari belenggu perbudakan atau penjajahan, baik secara jasmani maupun rohani yang menyesatkan dan akhirnya dapat bersatu kembali ke asal-Nya yaitu Brahman.

e.       Bhoma
Dalam Korawasrama  diceritakan bagaimana kelahiran Bhoma  yang dimulai dari Dewa Brahma dan Dewa  Wisniu sama – sama mengaku diri paling sakti yang pada akhirnya mereka sepakat mengadu kesaktian massing – masing yang mengantarkan Dewa Wisnu bertemu dengan Dewi Pertiwi sehingga lahirlah Sang Bhoma.
Oleh karenanya wujud Bhoma dalam tradisi Hindu – Bali dilukiskan dengan bentuk kepala memegang daun dan bunga. Bhoma dalam penggunaannya pada wadah melambangkan manusia yang terikat pada nafsu duniawi.
Berdasarkan Lontar Asta Kosala Kosali Wadah, ornamen bhoma pada wadah tidak sembarangan dibuat, ada tata cara untuk membuat bhoma sehingga memberikan keselamatan secara sekala dan niskala pada aspek vertikal dan horizontal. Pada tahap awal pembuatan, dibuatkan suatu upacara dengan disertai banten dan mantra ( Darwini, 2008:83).

f.       Wilmana
Wilmana dan acintya merupakan ornamen yang diletakkan pada bagian muka dari dinding dibelakang pada bagian atas dari wadah. Wilamana sangat dikenal dalam pementasan wayang wong Bali sebagai sosok manusia garuda yang mengepakkan kedua sayap bersiap – siap akan terbang naik ke atas. Simbolisasi penggunaan wilmana pada wadah adalah sebagai kendaraan yang membawa dan menghantarkan roh orang yang meninggal naik menuju alam niskala  ( Darwini, 2008: 86).



 
BAB III
PENUTUP


3.1    Simpulan
Wadah sesungguhnya adalah karya nyata sebuah kewajiban manusia secara langsung turun tangan ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ( Bhuana Agung dan Bhuana Alit ) secara timbal balik, nantinya alam akan memberikan kesejahteraan kepada manusia secara otomatis.  Lambang – lambang yang digambarkan dalam sarana wadah  sebenarnya member arah yang jelas kepada manusia bagaimana dan kemana arah tujuan hidup, khususnya konsep pengelolaan hidup menuju kebahagiaan sekala dan niskala.
Diperkiraka peraturan mengenai wadah petulangan dan gelar-gelar kebangsawanan ditetapkan pada zaman Dalem Dimade karena sejak saat itulah baru dikenal gelar I Gusti Agung untuk jabatan Patih Agung dan I Gusti untuk jabatan penguasa-penguasa daerah di bawah Dalem termasuk para patih. Ini yang nantinya menjadi tata aturan dan tradisi berlakunya penggunaan wadah. Penggunaan wadah menjadi berkembang berdasarkan lapisan masyarakat berupa fungsi dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat tertentu
Ornamen wadah adalah hiasan yang menempel atau berada menjadi satu kesatuan pada suatu bangunan wadah.  Secara umum ornamen – ornamen yang dipergunakan pada wadah  dalam upacara Pitra Yadnya meliputi : Karang Gajah, Karang Sari, Karang Guak, Garuda, Bhoma, Wilmana.

3.2    Saran      
Dengan mengetahui seni pada wadah dalam Upacara Pitra Yadnya diharapkan Umat Hindu bisa melestarikan budaya turun temurun. Oleh karena itu, melalui makalah ini kami harapkan Umat Hindu secara umum dan mahasiswa pada khususnya agar melestarikan berbagai kesenian terutama seni yang ada pada sarana upacara. Apabila ada uraian atau penjelasan saya di atas dianggap kurang maka saya mohon maaf, karena saya sadar akan kekurangan-kekurangannya. Untuk itu saya minta dari pembaca berupa kritik, saran serta masukan yang sifatnya membangun, saya akan menerima dengan tangan terbuka.
























DAFTAR PUSTAKA
Darwini, Gusti Ayu.2008.Wadah Dalam Upacara Ngaben Ngerit di Desa Takmung. Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Bangli.
Soebandi, Ketut.2001.Babad Pasek.Denpasar: Yayasan Adhi Sapta Kerthi.
Titib, I Made.2003.Teologi dan Simbol – Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
(http://www.network54.com/Forum/178267/message/1011690255/Konsep+dan+Filosofi+%27%27Bade%27%27+Dalam+Upacara+Pitra+Yadnya, diakses tanggal 14 Mei 2011 ).
(http://sites. google.com/site/lembujaya/nagabanda, di akses tanggal 14 mei 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar