BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama
berkembang di Asia, khususnya India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang
pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya
hubungan filsafat dengan agama. Namun, sebenarnya filsafat timur ini tidak
hanya di pandang filsafat agama juga, tetapi termasuk falsafah hidup.
Kedudukan filsafat dalam peradaban Cina bisa disamakan
dengan kedudukan agama pada peradaban – peradaban lain. Ci Cina, filsafat
selalu menjadi perhatian bagi setiap orang yang berpendidikan. Pada masa lalu,
jika seseorang merupakan orang yang berpendidikan, maka pendidikan pertama yang
ia terima adalah dalam bidang filsafat.
Bagi orang barat, yang melihat bahwa kehidupan orang – orang Cina
diliputi oleh Confucianisme, tampak bahwa Confucianisme adalah sebuah agama.
Tetapi sesungguhnya Confucianisme itu bukanlah agama, sama halnya dengan
Platonisme atau Aristotelianisme. Memang
benar bahwa Buku Yang Empat telah
menjadi Bibel bagi orang – orang Cina tetapi di dalam Buku Yang Empat itu tidak terdapat kisah tentang penciptaan, dan
tidak menyebutkan tentang surga dan neraka.
Istilah filsafat dan agama keduanya bersifat ambigu.
Filsafat dan agama bisa saja sepenuhnya memiliki makna yang berbeda bagi orang
– orang yang berbeda. Ketika sejumlah orang berbicara tentang filsafat atau
agama maka mungkin saja mereka memiliki gagasan – gagasan yang sungguh berbeda
di dalam pikiran mereka tentang kedua istilah tersebut.
Jenis pemikiran ini disebut reflektif karena mengambil
kehidupan sebagai objeknya. Teori tentang kehidupan, teori tentang alam semesta
dan teori tentang pengetahuan semuanya muncul dari corak pemikiran ini
(Rinaldi, 2007 : 1).
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat China,
yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan,
harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama,
antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam
keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari
pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas
yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian, perikemanusiaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan
Filsafat Cina
Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua
di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat
dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat
India dan filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya
dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa. Ada tiga tema
pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan
perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah
antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara
manusia dan surga.
Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk
pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi,
suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam
bidang agama. Kemudian pada perikemanusiaan, pemikiran Cina lebih
antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia-lah yang
selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih
berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta
("Moira"), dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di
dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina
sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya.
Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah
ada sebelum periode Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur laut dan barat
laut. Pada periode tersebut, kehidupan komunitas suku berpusat pada penyembahan
dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah
budaya Yangshao, Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan
tempat penyembahan. Pada masa budaya Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada
saat Raja Yao dan Shun memerintah, kebudayaan Cina yang berpusat pada
pengorbanan yang ditujukan bagi roh-roh alam dan nenek moyang tersebar ke
daerah Henan, Shandong dan Hubei. Mereka terintegrasi dalam sebuah keadaan
politis yang tersatukan, Xia. Ada juga tentang praktek li (ritual) dalam bentuk
penghormatan kepada nenek moyang sejak awal sebagaimana diterangkan dalam
Period of Jade.
Tradisi pemikiran filsafat di Cina bermula sekitar
abad ke-6 SM pada masa pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze,
Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas filsafat
Cina. Pemikiran mereka sangat berpengaruh dan membentuk ciri-ciri khusus yang
membedakannya dari filsafat India dan Yunani. Pada masa hidup mereka, negeri
Cina dilanda kekacauan yang nyaris tidak pernah berhenti. Pemerintahan Dinasti
Chou mengalami perpecahan dan perang berkecamuk di antara raja-raja kecil yang
menguasai wilayah yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya rakyat sengsara,
dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia disebabkan peperangan dan
pemberontakan yang bertubi-tubi melanda negeri. Tiadanya pemerintahan pusat
yang kuat dan degradasi moral di kalangan pejabat pemerintahan mendorong
sejumlah kaum terpelajar bangkit dan mulai memikirkan bagaimana mendorong
masyarakat berusaha menata kembali kehidupan sosial dan moral mereka dengan
baik.
Kaum bangsawan terpelajar ini telah tersingkir dari
kehidupan politik dan pemerintahan, karena pada saat negeri dilanda kekacauan
dan perang yang diperlukan ialah para jenderal dan pengambil kebijakan politik.
Dinasti Chou sendiri telah lebih satu abad memerintah negeri Cina. Pemerintahan
mereka semula berjalan baik, tindakan hukum berjalan sebagaimana diharapkan dan
ketertiban telah terbangun dengan baik. Dinasti Chou berhasil membangun tradisi
pemikiran Cina yang selama berabad-abad mempengaruhi pemikiran orang Cina.
Misalnya kebiasaan menghormati leluhur dengan melaksanakan berbagai upacara
keagamaan dan kegemaran akan sejarah masa lalu.
Dalam upaya untuk mendapat legitimasi atas
kekuasaannya Dinasti Chou menafsirkan kembali sejarah Cina. Misalnya saja
penaklukan yang dilakukannya atas dinasti sebelumnya, Shang, dikatakan sebagai
amanat dari dewa-dewa yang bersemayam di Kayangan. Penguasa dinasti Shang dikatakan
telah banyak melakukan kejahatan di bumi sehingga tidak direstui oleh leluhur
mereka, dan dewa-dewa di Kayangan membencinya serta memberikan mandat kepada
penguasa Dinasti Chou untuk menggantikannya sebagai pemegang tampuk
pemerintahan.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata
penyelenggaraan upacara-upacara menghormati leluhur itu lebih merupakan
pemborosan. Sering sebuah upacara dilakukan secara berlebihan untuk memamerkan
kekayaan dari keluarga yang menyelenggarakannya. Pemerintah pusat dan penguasa
wilayah berlomba-lomba memungut pajak yang tinggi, memeras rakyat dan
menggiring mereka melakukan kerja paksa. Para bangsawan, jenderal dan pejabat
berlomba-lomba melakukan korupsi dan penyelewengan, menimbun harta dan
kekuasaan. Mereka saling menghasut sehingga perpecahan tidak bisa dihindari
lagi dan peperangan silih berganti muncul antara penguasa wilayah yang satu
dengan penguasa yang lain.
Dilatarbelakangi keadaan seperti itu filsafat Cina
lebih banyak memusatkan perhatian pada persoalan politik, kenegaraan dan etika.
Kecenderungan inilah yang membuat filsafat Cina memiliki ciri yang berbeda dari
filsafat India, Yunani dan Islam.
Berbeda dengan filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno
memandang soal perubahan dan transformasi sebagai sebuah sifat dunia yang tidak
bisa direduksikan lagi, termasuk di dalamnya benda-benda dan manusia itu
sendiri. Ada perbedaan yang mencolok antara Filsafat Cina dengan filsafat
Barat. Filsafat Cina menekankan pada perubahan, becoming, waktu dan
temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina tentang realitas dan
alam dari trend utama tradisi filsafat Barat tetapi juga dari orientasi
filsafat India.
Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam
dunia justru membuat mereka masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri
manusia sendiri. Di dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya perkembangan,
transformasi, interaksi dan integrasi.
2.2 Aliran Dalam Filsafat Cina
Pemikiran China lebih antroposentris daripada filsafat
India dan filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat
China. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewadewa
semua dikuasai oleh suatu nasib buta “Moira”, dan ketika kebudayaan India masih
mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang
terus-menerus, maka di China sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat
menentukan nasibnya dan tujuannya.
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus
sekolah filsafat: seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda.
Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya
“tao” (jalan), “te” (keutamaan atau seni hidup), “yen” (perikemanusiaan), “I”
(keadilan), “t’ien” (surga) dan “yinyang” (harmoni kedua prinsip induk, prinsip
aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam
jaman klasik adalah:
Fa Chia, Fa Chia atau “sekolah
hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak
berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis
dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari
contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan
dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali. Tentang keenam sekolah
klasik tersebut, kadang-kadang dikatakan bahwa mereka berasal dari keenam
golongan dalam masyarakat Cina. (1). kaum ilmuwan, (2). rahib-rahib, (3).
okkultisme (dari ahliahli magi), (4). kasta ksatria, (5). para pendebat, dan
(6). ahli-ahli politik.
(6). ahli-ahli politik.
Yin-Yang,
“Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh
kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan
perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif,
prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk
yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis
dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
Maoisme, Aliran Moisme didirikan oleh
Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah “cinta
universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk
memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah
kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa
perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti.
Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, maka jelek
Sofisme / Ming Chia , Ming Chia atau
(sekolah nama-nama), menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan
perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat
dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting
sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa
yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam
Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti eksistensi, relativitas,
kausalitas, ruang dan waktu.
Zaman Neo Taoisme, Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (guru
tua) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse,
bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang merupakan Tao. Tao
menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang
bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika,
sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah
kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga
dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam
filsafat Barat––di mana kesadaran ini disebut––docta ignorantia (ketidaktahuan
yang berilmu).
Zaman Konfusianisme, Konfusius (bentuk Latin dari nama
Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar
bahwa Tao (jalan sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”.
Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia
hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup
dapat dicapai melalui “yen” (perikemanusiaan) yang merupakan model untuk semua
orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.
ZAMAN MODERN, Sejarah modern Cina di mulai sekitar tahun
1900. Pada permulaan abad kedua puluh, pengaruh filsafat Barat cukup besar.
Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan kedalam bahasa Cina dan yang
paling populer adalah pragmatisme , suatu jenis filsafat yang lahir di Amerika
Serikat. Pengaruh besar yang diberikan filsafat Barat ini membuat suatu reaksi,
yaitu kecenderungan untuk kembali ke tradisi-tradisi pribumi. Terutama sejak
1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx , Lenin , dan Mao Tse Tung
.
Dalam filsafat Cina, ada tiga hal yang terpenting:
harmoni, toleransi, dan perikemanusiaan. Harmoni antara manusia dan
sesama, manusia dengan alam, manusia dengan surga. Selalu dicari keseimbangan
antara keduanya. Toleransi
terlihat dalam keterbukaan terhadap pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap
perdamaian yang memungkinkan suatu pluriformitas yang luar biasa, juga dalam
bidang agama. Perikemanusiaan, karena selalu manusia-lah yang
merupakan pusat filsafat Cina, manusia yang pada hakikatnya baik dan yang harus
mencari kebahagiaannya di dunia ini dengan memperkembangkan dirinya sendiri
dalam interaksi dengan alam dan sesama manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Filsafat Cina adalah salah satu dari
filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari
tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia,
disamping filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat
lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa. Ada tiga
tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan
perikemanusiaan.
Menurut tradisi, periode ini
ditandai oleh seratus sekolah filsafat: seratus aliran yang semuanya mempunyai
ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan
secara umum, misalnya “tao” (jalan), “te” (keutamaan atau seni hidup), “yen”
(perikemanusiaan), “I” (keadilan), “t’ien” (surga) dan “yinyang” (harmoni kedua
prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan).
DAFTAR PUSTAKA
Rinaldi, John. 2007. SEJARAH
FILSAFAT CINA. Pustaka Belajar : Yogyakarta.
http://labibsyauqi.blogspot.com/2009/06/filsafat-cina-sejarah-singkat-tokoh-dan.html,
diakses tanggal 2 Maret 2012
http://iccsg.wordpress.com/2006/09/04/rangkuman-filsafat-cina/
diakses tanggal 2 Maret 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Cina,
diakses tanggal 2 Maret 2012
http://www.sagangonline.com/index.php?sg=full&id=549&kat=52,
diakses tanggal 2 Maret 2012
http://web.budaya-tionghoa.net/religi-filosofi/filsafat-lainnya/214-aliran-legalisme-fajia,
diakses tanggal 18 juni 2012
http://mahardhika.net/berita-179-filsafat-cina,
18 juni 2012
http://misi.sabda.org/konfusianisme,
18 juni 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Cina,
18 juni 2012