Rabu, 10 Juni 2015

LEGALISME, OKULTISME, SOFISME, ZAMAN NEO TAOISME, ZAMAN KONFUSIANISME, ZAMAN MODERN DALAM FILSAFAT CINA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Namun, sebenarnya filsafat timur ini tidak hanya di pandang filsafat agama juga, tetapi termasuk falsafah hidup.
Kedudukan filsafat dalam peradaban Cina bisa disamakan dengan kedudukan agama pada peradaban – peradaban lain. Ci Cina, filsafat selalu menjadi perhatian bagi setiap orang yang berpendidikan. Pada masa lalu, jika seseorang merupakan orang yang berpendidikan, maka pendidikan pertama yang ia terima adalah dalam bidang filsafat.  Bagi orang barat, yang melihat bahwa kehidupan orang – orang Cina diliputi oleh Confucianisme, tampak bahwa Confucianisme adalah sebuah agama. Tetapi sesungguhnya Confucianisme itu bukanlah agama, sama halnya dengan Platonisme atau Aristotelianisme.  Memang benar bahwa Buku Yang Empat telah menjadi Bibel bagi orang – orang Cina tetapi di dalam Buku Yang Empat itu tidak terdapat kisah tentang penciptaan, dan tidak menyebutkan tentang surga dan neraka.
Istilah filsafat dan agama keduanya bersifat ambigu. Filsafat dan agama bisa saja sepenuhnya memiliki makna yang berbeda bagi orang – orang yang berbeda. Ketika sejumlah orang berbicara tentang filsafat atau agama maka mungkin saja mereka memiliki gagasan – gagasan yang sungguh berbeda di dalam pikiran mereka tentang kedua istilah tersebut.
Jenis pemikiran ini disebut reflektif karena mengambil kehidupan sebagai objeknya. Teori tentang kehidupan, teori tentang alam semesta dan teori tentang pengetahuan semuanya muncul dari corak pemikiran ini (Rinaldi, 2007 : 1).
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat China, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian, perikemanusiaan.


 
BAB II
PEMBAHASAN


2.1       Perkembangan Filsafat Cina
Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa. Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga.
Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian pada perikemanusiaan, pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta ("Moira"), dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya.
Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode tersebut, kehidupan komunitas suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah budaya Yangshao, Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat penyembahan. Pada masa budaya Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada saat Raja Yao dan Shun memerintah, kebudayaan Cina yang berpusat pada pengorbanan yang ditujukan bagi roh-roh alam dan nenek moyang tersebar ke daerah Henan, Shandong dan Hubei. Mereka terintegrasi dalam sebuah keadaan politis yang tersatukan, Xia. Ada juga tentang praktek li (ritual) dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang sejak awal sebagaimana diterangkan dalam Period of Jade.
Tradisi pemikiran filsafat di Cina bermula sekitar abad ke-6 SM pada masa pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas filsafat Cina. Pemikiran mereka sangat berpengaruh dan membentuk ciri-ciri khusus yang membedakannya dari filsafat India dan Yunani. Pada masa hidup mereka, negeri Cina dilanda kekacauan yang nyaris tidak pernah berhenti. Pemerintahan Dinasti Chou mengalami perpecahan dan perang berkecamuk di antara raja-raja kecil yang menguasai wilayah yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia disebabkan peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda negeri. Tiadanya pemerintahan pusat yang kuat dan degradasi moral di kalangan pejabat pemerintahan mendorong sejumlah kaum terpelajar bangkit dan mulai memikirkan bagaimana mendorong masyarakat berusaha menata kembali kehidupan sosial dan moral mereka dengan baik.
Kaum bangsawan terpelajar ini telah tersingkir dari kehidupan politik dan pemerintahan, karena pada saat negeri dilanda kekacauan dan perang yang diperlukan ialah para jenderal dan pengambil kebijakan politik. Dinasti Chou sendiri telah lebih satu abad memerintah negeri Cina. Pemerintahan mereka semula berjalan baik, tindakan hukum berjalan sebagaimana diharapkan dan ketertiban telah terbangun dengan baik. Dinasti Chou berhasil membangun tradisi pemikiran Cina yang selama berabad-abad mempengaruhi pemikiran orang Cina. Misalnya kebiasaan menghormati leluhur dengan melaksanakan berbagai upacara keagamaan dan kegemaran akan sejarah masa lalu.
Dalam upaya untuk mendapat legitimasi atas kekuasaannya Dinasti Chou menafsirkan kembali sejarah Cina. Misalnya saja penaklukan yang dilakukannya atas dinasti sebelumnya, Shang, dikatakan sebagai amanat dari dewa-dewa yang bersemayam di Kayangan. Penguasa dinasti Shang dikatakan telah banyak melakukan kejahatan di bumi sehingga tidak direstui oleh leluhur mereka, dan dewa-dewa di Kayangan membencinya serta memberikan mandat kepada penguasa Dinasti Chou untuk menggantikannya sebagai pemegang tampuk pemerintahan.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata penyelenggaraan upacara-upacara menghormati leluhur itu lebih merupakan pemborosan. Sering sebuah upacara dilakukan secara berlebihan untuk memamerkan kekayaan dari keluarga yang menyelenggarakannya. Pemerintah pusat dan penguasa wilayah berlomba-lomba memungut pajak yang tinggi, memeras rakyat dan menggiring mereka melakukan kerja paksa. Para bangsawan, jenderal dan pejabat berlomba-lomba melakukan korupsi dan penyelewengan, menimbun harta dan kekuasaan. Mereka saling menghasut sehingga perpecahan tidak bisa dihindari lagi dan peperangan silih berganti muncul antara penguasa wilayah yang satu dengan penguasa yang lain.
Dilatarbelakangi keadaan seperti itu filsafat Cina lebih banyak memusatkan perhatian pada persoalan politik, kenegaraan dan etika. Kecenderungan inilah yang membuat filsafat Cina memiliki ciri yang berbeda dari filsafat India, Yunani dan Islam.
Berbeda dengan filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno memandang soal perubahan dan transformasi sebagai sebuah sifat dunia yang tidak bisa direduksikan lagi, termasuk di dalamnya benda-benda dan manusia itu sendiri. Ada perbedaan yang mencolok antara Filsafat Cina dengan filsafat Barat. Filsafat Cina menekankan pada perubahan, becoming, waktu dan temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina tentang realitas dan alam dari trend utama tradisi filsafat Barat tetapi juga dari orientasi filsafat India.
Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru membuat mereka masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri manusia sendiri. Di dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya perkembangan, transformasi, interaksi dan integrasi.

2.2 Aliran Dalam Filsafat Cina
Pemikiran China lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat China. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewadewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta “Moira”, dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di China sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya.
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat: seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya “tao” (jalan), “te” (keutamaan atau seni hidup), “yen” (perikemanusiaan), “I” (keadilan), “t’ien” (surga) dan “yinyang” (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah:
Fa Chia, Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali. Tentang keenam sekolah klasik tersebut, kadang-kadang dikatakan bahwa mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina. (1). kaum ilmuwan, (2). rahib-rahib, (3). okkultisme (dari ahliahli magi), (4). kasta ksatria, (5). para pendebat, dan
(6). ahli-ahli politik.
Yin-Yang,  “Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
Maoisme, Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, maka jelek
Sofisme / Ming Chia , Ming Chia atau (sekolah nama-nama), menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti eksistensi, relativitas, kausalitas, ruang dan waktu.
Zaman Neo Taoisme,  Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (guru tua) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat––di mana kesadaran ini disebut––docta ignorantia (ketidaktahuan yang berilmu).
Zaman Konfusianisme,  Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao (jalan sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui “yen” (perikemanusiaan) yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.
ZAMAN MODERN, Sejarah modern Cina di mulai sekitar tahun 1900. Pada permulaan abad kedua puluh, pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan kedalam bahasa Cina dan yang paling populer adalah pragmatisme , suatu jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Pengaruh besar yang diberikan filsafat Barat ini membuat suatu reaksi, yaitu kecenderungan untuk kembali ke tradisi-tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx , Lenin , dan Mao Tse Tung .
Dalam filsafat Cina, ada tiga hal yang terpenting: harmoni, toleransi, dan perikemanusiaan. Harmoni antara manusia dan sesama, manusia dengan alam, manusia dengan surga. Selalu dicari keseimbangan antara keduanya.  Toleransi terlihat dalam keterbukaan terhadap pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan suatu pluriformitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Perikemanusiaan, karena selalu manusia-lah yang merupakan pusat filsafat Cina, manusia yang pada hakikatnya baik dan yang harus mencari kebahagiaannya di dunia ini dengan memperkembangkan dirinya sendiri dalam interaksi dengan alam dan sesama manusia.

 


BAB III
PENUTUP


3.1    Simpulan
Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa. Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan.
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat: seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya “tao” (jalan), “te” (keutamaan atau seni hidup), “yen” (perikemanusiaan), “I” (keadilan), “t’ien” (surga) dan “yinyang” (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan).




 

DAFTAR PUSTAKA
Rinaldi, John. 2007.  SEJARAH FILSAFAT CINA. Pustaka Belajar : Yogyakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Cina, diakses tanggal 2 Maret 2012

SENI PADA WADAH ( DALAM UPACARA PITRA YADNYA )



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Pada zaman perkembangan budaya, Masyarakat Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual dalam Falsafah Tri Hita Karana. Agama Hindu sangat pesat termasuk di Daerah Bali dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para Arya dari Kerajaan Majapahit sebagian besar hijrah ke Bali dan di daerah ini para Arya-Arya tersebut lebih memantapkan ajaran-ajaran Agama Hindu sampai sekarang(http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=7,diakses 10 Maret 2011).
Dalam pelaksanaannya tetap berlandaskan pada ajaran-ajaran Agama Hindu dan dalam kegiatan Upacara Keagamaan berpatokan pada Panca Yadnya. Upacara Pitra Yadnya merupakan salah satu dari Panca Yadnya. Pitra Yandya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal.
Wadah merupakan salah satu sarana upacara yang dipergunakan dalam Upacara Pitra Yadnya pada saat pembakaran jenazah. Upacara pelebon atau dikenal juga sebagai ngaben adalah prosesi pembakaran mayat yang bertujuan untuk mengembalikan unsur-unsur pembentuk tubuh manusia kembali ke alamnya serta melepaskannya dari ikatan keduniawian. Sebuah upacara yang bila dipandang oleh orang selain Hindu Bali sebagai prosesi yang rumit namun kenyataannya sangat sederhana untuk dipahami (http:// www.indonesia.travel / id / news /detail/178/pengusungan-naga-banda-pelebon-2-november-2010, diakses tanggal 14 Mei 2011)
Upacara ini adalah salah satu tradisi budaya Bali yang sangat di kenal sampai ke manca negara karena kemegahan dan keunikannya. Terlebih untuk pelebon dari keluarga kerajaan di Bali yang akan lebih meriah dan dapat menghabiskan biaya hingga miliaran rupiah dengan persiapan yang memakan waktu berbulan-bulan terutama dalam pembuatan sarana – prasarana upacara tersebut.
1.2    Rumusan Masalah
  1. Apa Yang Dimaksud Wadah?
  2. Bagaimana Perkembangan Wadah di Bali?
  3. Seni Apa Saja Yang Terdapat Pada Wadah Dalam Upacara Pitra Yadnya ?

1.3    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah agar para mahasiswa pada khususnya lebih memahami tentang sarana pitra yadnya khususnya wadah, perkembangan wadah di Bali serta makna wadah dalam upacara Pitra Yadnya sehingga memiliki pemahaman yang ilmiah. Selain itu merupakan salah satu bentuk evaluasi belajar dan untuk melengakpi persyaratan akademis.




  
BAB II
PEMBAHASAN


2.1       Pengertian Wadah
Dalam upacara pitra yadnya, bade dan wadah merupakan sarana yang penting tetapi tidak harus mutlak ada. Menurut I Gusti Ketut Kaler (alm) dalam bukunya ''Ngaben, Mengapa Mayat Dibakar?'' (Yayasan Dharma Naradha, 1993), bade atau wadah boleh dan penting dibuat serta digunakan, tetapi bukanlah esensial. Artinya, tanpa bade pun upacara pitra yadnya pengabenan sudah bisa disebut sah.
Penekun lontar sekaligus undagi bade asal Kesiman I Wayan Turun mengatakan bade dan wadah merupakan simbol dari sukuning (bagian bawah) dari Gunung Maliawan. Bade atau wadah memiliki fungsi sama sebagai sarana pemberangkatan jenazah ke setra dalam upacara pitra yadnya. Namun, secara fisik, kedua sarana itu sebetulnya memiliki perbedaan. Ditegaskan, jika menggunakan tumpang (atapnya bertingkat-red) disebut bade, sedangkan yang tidak bertumpang disebut wadah. Namun, wadah bisa disebut bade jika menggunakan palih bade seperti bacem, batur, taman, sari (http://www.network54.com/Forum/178267/message/1011690255/Konsep+dan+Filosofi+%27%27Bade%27%27+Dalam+Upacara+Pitra+Yadnya, diakses tanggal 14 Mei 2011 ).
Seorang undagi mesti tahu sedikit aksara Bali dan senang membaca tatwa-tatwa atau prasasti karena di sana terdapat bermacam-macam aturan mengenai pembuatan bade serta filosofi yang terkandung di dalamnya.
Selain berbentuk bade dan wadah, ada juga sarana pitra yadnya yang bisa disebut bade namun bentuknya sedikit berbeda, yakni balai pebasmian. Bentuknya seperti bangunan balai yang di dalamnya berisi bale kantil tempat jenazah, dilengkapi dengan pepalihan seperti boma bersayap, macam-macam kekarangan, kekitir, brapakat, dll. Jika dikaitkan dengan catur warna dalam konsep profesi golongan manusia di Bali, ada aturan khusus penggunaan bade. Misalnya, keturunan mana saja yang boleh menggunakan bade bertumpang solas (11), sanga (9), pitu (7), lima (5) dan seterusnya.
Ada sekitar 20 kelengkapan bade atau wadah yakni ringring, kakitir di tiap sudut tumpang, kapas atau mangle, magunung tajak (tiap sudut berisi hiasan gegunungan), magender wayang, boma makampid (bersayap), garuda mungkur, apit lawang, brekapat, masaka anda, palih bade -- bacem, batur, taman sari, atapnya bertumpang, kekendon, macam-macam kekarangan menurut tempat, tetamanan atau bunga-bungaan, pakis, ulon, bantala, badan dara dan gagodegan. Namun, dari sekian kelengkapan bade itu yang paling inti harus ada ringring, kakitir, kapas/mangle, atapnya bertumpang, masaka anda, boma makampid dan magunung tajak  (http:// www.indonesia.travel / id /news/detail/178/pengusungan-naga-banda-pelebon-2-november-2010,diakses tanggal 14 Mei 2011)
Dalam pembuatan bade, wadah dan kelengkapan lainnya mesti berpegangan pada lontar Dharma Laksana. Dalam lontar itu ada aturan dasar yang mesti dipakai seorang undagi bade. Artinya, dalam pembuatan itu tidak boleh hanya mengutamakan seni, tetapi harus sesuai dengan aturan. Misalnya, seseorang minta bade palih taman, mestinya seseorang tukang (undagi) mesti tahu apa itu palih taman. Jangan sampai karena kekurangtahuan justru yang dibuat palih gunung atau palih tanjak.
Wadah sesungguhnya adalah karya nyata sebuah kewajiban manusia secara langsung turun tangan ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ( Bhuana Agung dan Bhuana Alit ) secara timbal balik, nantinya alam akan memberikan kesejahteraan kepada manusia secara otomatis.  Lambang – lambang yang digambarkan dalam sarana wadah  sebenarnya member arah yang jelas kepada manusia bagaimana dan kemana arah tujuan hidup, khususnya konsep pengelolaan hidup menuju kebahagiaan sekala dan niskala.

2.2       Perkembangan Wadah di Bali
Sekitar abad ke XVI Dalem sebagai penguasa tertinggi di Pulau Bali membuat tata aturan bagi orang-orang yang meninggal terutama pejabat-pejabat pemerintahan dan para pendeta. Diperkiraka peraturan mengenai wadah petulangan dan gelar-gelar kebangsawanan ditetapkan pada zaman Dalem Dimade karena sejak saat itulah baru dikenal gelar I Gusti Agung untuk jabatan Patih Agung dan I Gusti untuk jabatan penguasa-penguasa daerah di bawah Dalem termasuk para patih. Ini yang nantinya menjadi tata aturan dan tradisi berlakunya penggunaan wadah. Penggunaan wadah menjadi berkembang berdasarkan lapisan masyarakat berupa fungsi dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat tertentu  ( Darwini, 2008: 5).
Sebelum zaman Dalem Dimade hanya dikenal sebutan Ki atau Arya. Kemungkinan juga pedarman-pedarman yang ada di Besakih di kompleks sebelah timur penataran agung dibangun pada zaman ini dimana para ksatria yang memegang wilayah diperkenankan membuat pedarman dengan tumpang merunya dibentuk menurut kekuasaan atau kedudukannya waktu itu.
Aturan ini diwarisi turun temurun oleh warganya masing-masing. Demikianlah para pendeta yang meninggal ditetapkan memakai wadah yang berbentuk padmasana. Para raja-raja di bawah kekuasaan Dalem dan pejabat-pejabat yang berkuasa waktu itu menggunakan wadah dengan tumpang-tumpang tertentu sesuai dengan kedudukannya yang telah diatur oleh Dalem. Tumpang-tumpang bade untuk para pejabat dan turunannya dibatasi dari tumpang tiga sampai tumpang Sembilan. Demikian juga petulangannya ditetapkan bagi mereka yang boleh memakai lembu, singa, naga kaang, gajah mina dan sebagainya. Umumnya para ksatria hampir semuanya memakai petulangan lembu sedangkan untuk golongan khusus lainnya berdasarkan fungsi atau keahliannya memakai petulangan singa, gajah mina, dan naga kaang. Khusus untuk Dalem beserta turunannya bisa memakai tumpang sebelas dengan naga banda dan petulangan lembu.
Dalam mitologi Hindu di Bali, kulit bumi  yang berlapis-lapis dan sungai yang mengalir berliku-liku digambarkan sebagai naga-naga yang membelit inti bumi, dimana inti bumi dilukiskan sebagai Bedawang Nala atau Bedawang Api. Konon penyebab terjadinya gempa bumi adalah karena naga-naga yang bertugas membelit Bedawang Nala ini terlena sekejap sehingga Bedawang dapat bergerak dan terjadilah gempa bumi (http://sites. google.com/site/lembujaya/nagabanda, di akses tanggal 14 mei 2011).
Induk-induk naga dikenal dengan nama Sang Hyang Anantabhoga, Sang Hyang Basuki dan Naga Taksaka. Sang Hyang Anantabhoga menggambarkan lapisan kulit bumi yang memikul alam kita ini dengan punggungnya (Anantabhogastawa). Dari kulit bumi inilah timbul segala jenis tumbuh-tumbuhan yang diibaratkan bulu-bulu naga yang memberikan kita sandang pangan yang tidak habis-habisnya. Kata Anantabhoga berasal dari kata ananta yang berarti tidak habis dan bhiga yang berarti pangan.
Sementara Sang Hyang Naga Basuki, dalam Basukistawa dilukiskan dengan Indragiri atau penguasa gunung. Gunung dalam pandangan umat Hindu di Bali bukan saja sebagai linggih atau singgasana Ida Batara tetapi juga merupakan hulunya mata air yang melahirkan sungai yang berliku-liku, yang menyebabkan tanah menjadi subur.
Naga Taksaka digambarkan sebagai naga bersayap yang menguasai udara sehingga udara dapat memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Sebab itulah Dalem yang menjadi raja Pulau Bali pada zaman dulu menetapkan bahwa beliau dan turunannya jika meninggal dapat memakai Naga Banda sebagai penebusan terhadap ikatan duniawi sewaktu beliau masih hidup. Rasa keterikatan inilah yang harus diputuskan  dengan cara menghidupkan satwam, dalam upacara disimbolkan dengan pendeta yang memanah Naga Banda. Apabila ikatan duniawi ini tidak dapat dilepaskan maka Sang Hyang Atma akan dililit  dibawa ke neraka. Namun, apabila ikatan ini mampu dilepaskan maka Sang Hyang Anantabhoga akan menjadi kendaraan Sang Hyang Atma untuk pergi ke surga ( Soebandi, 1990:14).

2.3              Seni Yang Terdapat Dalam Wadah pada Upacara Pitra Yadnya
Secara mengkhusus jenis wadah berdasarkan bentuknya terdiri atas empat jenis yaitu Padma, Bade, Joli dan Pepaga. Sedangkan wadah berdasarkan penggunaan menurut kelompok social yang menggunakan atau menurut wangsa orang yang akan diabenkan, ada wadah tumpang sebelas , Sembilan, tujuh, dan sebagainya sehingga pada akhirnya muncul pembedaan berupa istilah wadah Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra ( Darwini, 2008 : 72).
Ornamen wadah adalah hiasan yang menempel atau berada menjadi satu kesatuan pada suatu bangunan wadah.  Secara umum ornamen – ornamen yang dipergunakan pada wadah  dalam upacara Pitra Yadnya meliputi :
a.       Karang Gajah
Karang gajah adalah ornamen bangunan wadah yang berbentuk seperti gajah lengkap dengan taring dan belalainya, namun penggambaran karang gajah ini hanya sebatas kepalanya saja. Penggambaran ini sama dengan adanya kepercayaan umat Hindu terhadap dewa yang menyerupai manusia berkepala ( Ganesha ) gajah ( Darwini, 2008: 76).

b.      Karang Sari
Karang Sari adalah ornamen  berbentuk seperti bunga – bungaan dan seringkali dilengkapi dengan dedaunan ( Darwini, 2008:78).

c.       Karang Guak
Karang Guak  adalah ornamen berbentuk seperti burung, dengan penggambaran burung tersebut hanya sebatas kepalanya saja. Penggunaan karang guak ini merupakan simbolisasi terhadap kepercayaan masyarakat Hindu – Bali ketika ada kematian dalam suatu keluarga pasti terlihat dan terdengar ada burung gagak atau guak yang berputar – putar disekitar areal rumah sambil mengeluarkan suarnaya. Disamping itu gagak atau guak merupakan salah satu wujud manifestasi Tuhan sebagaimana diceritakan Ganapati berubah wujud menjadi seekor gagak ( Darwini, 2008: 79).

d.      Garuda
Garuda merupakan burung matahari atau burung rajawali yang dianggap sebagai lambang di dunia atas karena merupakan kendaraan dewa Wisnu.  Ornamen garuda banyak kita jumpai dipergunakan untuk menghias bagian belakang dari padmasana, bagian belakang dari wadah, sebagai kober atau bendera di dalam banten padudusan dan adapula nasi yang digambarkan berbentuk garuda yang dinamai nasi garuda.
Penggunaan ornamen garuda pada wadah tidak begitu saja dipergunakan, tetapi terkandung suatu simbolisasi yang terkait dengan beberapa cerita salah satunya tentang Sang Garuda dalam Adi Parwa dimulai sejak kelahiran Sang Garuda serta misi yang diembannya unuk membebaskan ibu kandungnya dari perbudakan atau penjajahan yang dilakukan oleh Sang Kadru.
Dalam kekawin Bhomantaka dijelaskan peranan Sang Garuda membantu Sri Krsna yang bertempur menghadapi raja raksasa yang bernama Bhoma ( Darwini, 2008: 80).
Dari berbagai cerita di atas maka penggunaan ornamen garuda pada wadah adalah sebagai salah satu aspek kemahakuasaan Tuhan yang mempunyai misi untuk membebaskan manusia ( orang yang di abenkan ) dari belenggu perbudakan atau penjajahan, baik secara jasmani maupun rohani yang menyesatkan dan akhirnya dapat bersatu kembali ke asal-Nya yaitu Brahman.

e.       Bhoma
Dalam Korawasrama  diceritakan bagaimana kelahiran Bhoma  yang dimulai dari Dewa Brahma dan Dewa  Wisniu sama – sama mengaku diri paling sakti yang pada akhirnya mereka sepakat mengadu kesaktian massing – masing yang mengantarkan Dewa Wisnu bertemu dengan Dewi Pertiwi sehingga lahirlah Sang Bhoma.
Oleh karenanya wujud Bhoma dalam tradisi Hindu – Bali dilukiskan dengan bentuk kepala memegang daun dan bunga. Bhoma dalam penggunaannya pada wadah melambangkan manusia yang terikat pada nafsu duniawi.
Berdasarkan Lontar Asta Kosala Kosali Wadah, ornamen bhoma pada wadah tidak sembarangan dibuat, ada tata cara untuk membuat bhoma sehingga memberikan keselamatan secara sekala dan niskala pada aspek vertikal dan horizontal. Pada tahap awal pembuatan, dibuatkan suatu upacara dengan disertai banten dan mantra ( Darwini, 2008:83).

f.       Wilmana
Wilmana dan acintya merupakan ornamen yang diletakkan pada bagian muka dari dinding dibelakang pada bagian atas dari wadah. Wilamana sangat dikenal dalam pementasan wayang wong Bali sebagai sosok manusia garuda yang mengepakkan kedua sayap bersiap – siap akan terbang naik ke atas. Simbolisasi penggunaan wilmana pada wadah adalah sebagai kendaraan yang membawa dan menghantarkan roh orang yang meninggal naik menuju alam niskala  ( Darwini, 2008: 86).



 
BAB III
PENUTUP


3.1    Simpulan
Wadah sesungguhnya adalah karya nyata sebuah kewajiban manusia secara langsung turun tangan ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ( Bhuana Agung dan Bhuana Alit ) secara timbal balik, nantinya alam akan memberikan kesejahteraan kepada manusia secara otomatis.  Lambang – lambang yang digambarkan dalam sarana wadah  sebenarnya member arah yang jelas kepada manusia bagaimana dan kemana arah tujuan hidup, khususnya konsep pengelolaan hidup menuju kebahagiaan sekala dan niskala.
Diperkiraka peraturan mengenai wadah petulangan dan gelar-gelar kebangsawanan ditetapkan pada zaman Dalem Dimade karena sejak saat itulah baru dikenal gelar I Gusti Agung untuk jabatan Patih Agung dan I Gusti untuk jabatan penguasa-penguasa daerah di bawah Dalem termasuk para patih. Ini yang nantinya menjadi tata aturan dan tradisi berlakunya penggunaan wadah. Penggunaan wadah menjadi berkembang berdasarkan lapisan masyarakat berupa fungsi dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat tertentu
Ornamen wadah adalah hiasan yang menempel atau berada menjadi satu kesatuan pada suatu bangunan wadah.  Secara umum ornamen – ornamen yang dipergunakan pada wadah  dalam upacara Pitra Yadnya meliputi : Karang Gajah, Karang Sari, Karang Guak, Garuda, Bhoma, Wilmana.

3.2    Saran      
Dengan mengetahui seni pada wadah dalam Upacara Pitra Yadnya diharapkan Umat Hindu bisa melestarikan budaya turun temurun. Oleh karena itu, melalui makalah ini kami harapkan Umat Hindu secara umum dan mahasiswa pada khususnya agar melestarikan berbagai kesenian terutama seni yang ada pada sarana upacara. Apabila ada uraian atau penjelasan saya di atas dianggap kurang maka saya mohon maaf, karena saya sadar akan kekurangan-kekurangannya. Untuk itu saya minta dari pembaca berupa kritik, saran serta masukan yang sifatnya membangun, saya akan menerima dengan tangan terbuka.
























DAFTAR PUSTAKA
Darwini, Gusti Ayu.2008.Wadah Dalam Upacara Ngaben Ngerit di Desa Takmung. Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Bangli.
Soebandi, Ketut.2001.Babad Pasek.Denpasar: Yayasan Adhi Sapta Kerthi.
Titib, I Made.2003.Teologi dan Simbol – Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
(http://www.network54.com/Forum/178267/message/1011690255/Konsep+dan+Filosofi+%27%27Bade%27%27+Dalam+Upacara+Pitra+Yadnya, diakses tanggal 14 Mei 2011 ).
(http://sites. google.com/site/lembujaya/nagabanda, di akses tanggal 14 mei 2011).