Senin, 17 Oktober 2011

KURANGNYA KESADARAN MAHASISWA DALAM MEMAKNAI HARI PURNAMA-TILEM


Agama Hindu sangat identik dengn ritual keagamaanya.  Jika kita berbicara tentang ritual keagamaan maka hal tersebut tidak akan terlepas dari upacara dan persembahan ( yadnya ).  Umat Hindu melakukan persembahan secara tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya.  Ada 5 ( lima ) jenis persembahan yang dilakukan oleh umat hindu yang sering disebut Panca Yadnya.  Salah satu dari kelima yadnya tersebut adalah Dewa Yadnya yaitu persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan manifestasi-Nya.  Sesuai dengan rangkainya upacara Dewa Yadnya memiliki banyak jenis, salah satunya adalah hari-hari suci tertentu.  Dimana hari suci merupakan hari baik bagi umat hindu untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa.  Beberapa hari suci hindu antara lain : Galungan, Kuningan, Nyepi, Saraswati, Pagerwesi, Siwaratri, Purnama dan Tilem.(subagiasta, 2008:20)
Perayaan hari – hari suci terutama pada saat purnama dan tilem sudah menjadi rutinitas bagi kampus Institut Hindu Dharna Negeri ( IHDN ) Denpasar sebagai salah satu perguruan tinggi negeri yang benafaskan Hindu dengan Tri Dharma Perguruan tinggi sebagai landasannya.  Namun hal tersebut terasa masih sangat kurang.  Hal tersebut dapat dilihat dari sedikitnya partisipasi baik itu dari mahasiswa maupun dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM ) sebagai salah satu organisasi yang berada di bawah naungan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM ) IHDN Denpasar.  Kesadaran untuk berpakaian adat dan mengikuti persembahyangan bersama agaknya belum sepenuhnya terlaksana.  Hal tersebut terlihat dari sedikitnya mahasiswa yang mau memakai pakaian adat dan mengikuti persembahyangan pada hari purnama dan tilem. Terkadang muncul pertanyaan, seberapa pentingkah pakaian adat bagi mereka?  Sebagian berpendapat hal trsebut sangatlah penting, namun tidak jarang ada pendapat yang mengatakan memakai pakian adat itu ribet, tidak efisien dan sebagainya.  Apabila seperti itu bagaimana kita bias melestarikan budaya kita sendiri? Siapa yang akan melestarikan budaya sendiri kalau bukan kita?
Tentunya hal – hal tersebut hanyalah alasan mereka semata.  Yang paling ditekankan disini bukanlah pada pakaian adat itu sendiri melainkan bagaimana mereka bisa menghayati dan mengimplementasikan hari - hari suci itu sendiri.  Kedepannya diharapkan masing – masing UKM selaku orkemas yang bernaung di bawah naungan BEM ( Badan Eksekutif Mahasiswa ) saling berkordinasi guna menumbuhkan rasa kesadaran mahasiswa sehingga dengan kemajuan teknologi di era globalisasi dan modernisasi ini moralitas mahasiswa khususnya mahasiswa IHDN Denpasar tetap terjaga dengan tidak melupakan adat dan aturan – aturan dalam bertingkah laku baik itu di internal kampus maupun di luar kampus.  Konsep Tri Hita Karana dapat kita jadikan cermin bagaimana hubungan kita baik itu dengan dengan prahyangan, palemahan dan pawongan.  Dimana palemahan dan pawongan berperan penting dalam tingkah laku kita.  Sedangkan prahyangan adalah hal utama yang menghantarkan kita sebagai generasi muda hindu yang memiliki jiwa relegius.

POTRET DESA TRUNYAN


Desa Trunyan merupakan desa kecil yang berada di sisi timur Danau Batur. Untuk mencapai  Desa Trunyan,  kita akan terlebih dahulu melewati obyek wisata Penelokan.  Dari Ibu Kota Propinsi Bali akan menempuh jarak kurang lebih 65 km/ dan dari Ibu Kota Bangli akan menempuh jarak 23 km. Dari Penelokan, kita dapat memandang  indahnya Danau  Batur.  Terkadang terlihat perahu boat saat melayani wisatawan dalam setiap penyebrangan dari Desa Kedisan ke Desa Trunyan. Sisa –sisa lahar yang membeku dan berwarna hitam yang tersebar merata hampir di seluruh kawasan menjadi suatu daya tarik bagi setiap pengunjung. Sedangkan rute obyek yang dilalui, menghubungkan wisata Kawasan Batur dengan wisata Tampaksiring dan Pura Besakih.
Desa Trunyan merupakan salah satu desa tertua di Bali yang sering disebut desa bali aga / bali asli yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Yang merupakan satu – satunya desa peninggalan Kerajaan Majapahit. Dari ketradisionalnya itu Desa trunyan sangat kental dengan budaya.  Hal itu terlihat dari tradisi penguburan mayat yang tergolong unik. Jika dilihat dari letak geografis Desa Trunyan sebelah utara berbatasan dengan Songan, Timur adalah kabupaten Karangasem, selatan adalah desa Abang, dan barat adalah Danau Batur.
Asal mula Desa Trunyan / sejarah Desa Trunyan  dibagi menjadi dua versi. Versi yang pertama menyebutkan bahwa Desa Trunyan berasal dari kata taru dan menyan. Dimana kata taru artinya kayu dan menyan artinya harum. Kemudian versi yang kedua, kata Trunyan berasal dari dua kata yaitu kata turun  dan hyang. Turun artinya turunan / anugrah sedangkan hyang artinya Ida Bhatara.
Turun hyang maksudnya adalah Desa Trunyan yang awalnya berasal dari adanya sesuhunan dari Kerajaan Majapahit, dimana sebelum  adanya Desa Trunyan dan masyarakatnya, Desa Trunyan adalah merupakan sebuah Hutan belantara. Pada zaman dahulu, dari Kerajaan majapahit tercium bau harum. Sehingga Raja Majapahit mengutus 5 ( lima ) abdi untuk mencari sumber bau harum. Namun hanya satu orang yang sampai di Desa Trunyan ( yang pada saat itu masih berupa hutan belantara ) dan menemukan sumber harum tersebut. Ternyata yang sampai pertama kali adalah yang menjadi sesembahan Desa Trunyan yang tidak lain adalah Ratu Gede Pancering Jagat yang dalam bahasa masyarakat Desa Trunyan di sebut “ Da Tonta “.  Sumber bau harus tersebut berasal dari gundukan tanah yang menyerupai jamur, sehingga oleh Ratu Gede Pancering Jagat gundukan tersebut ditutup dengan “saeb”.  Namun lama kelamaan gundukan itu membesar mencapai ketinggian kurang lebih 7 meter. Ini merupakan sumber bau harum yang tercium dari Kerajaan Majapahit yang disebut dengan  Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar. Lama kelamaan utusan dari kerajaan majapahit ini mempersunting Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar sehingga dibuatkanlah pelinggih tumpang tujuh tempat Ratu Gede Pancering Jagat dan Pelinggih bertumpang tiga tempat  Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar berstana. Untuk mempringati pernikahan tersebut maka dipentaskanlah sebuah tarian yang bernama “ Barong Brutuk “ yang oleh masyarakat Trunyan menjadi tradisi turun temurun hingga sekarang.
Barong Brutuk  tersebut ditarikan oleh para lelaki dewasa yang belum menikah. Setiap keluarga wajib mengikut sertakan anak laki – laki yang telah dewasa namun belum menikah untuk menarikan Tarian Barong Brutuk tersebut. Dimana tarian ini dipentaskan setiap ada odalan di Pura Pancering Jagat tersebut yang jatuh pada purnama kapat. Sebelum mementaskan tarian tersebut, terlebih dahulu penarinya melakukan upawasa selama tiga hari sebelum pementasan tersebut dilaksanakan. Oleh masyarakat setempat disebut “ mapingit”.
Makna dari kata “Da Tonta” itu sendiri adalah “ Da Tontona”. Da artinya tidak / jangan, sedangkan Tontona artinya lihat. Sehingga jika dirangkai artinya adalah “tidak dilihat”. Itulah yang menyebabkan da tonta tersebut tidak boleh dilihat. Masyaraktnya boleh melihat di hari – hari tertentu saja. Yaitu pada purnama kapat berbarengan dengan dipentaskannya Tarian Barong Brutuk. Seperti yang kita ketahui patung da tonta tersebut berada di didalam pelinggih tumpang tujuh yang merupakan stana Ratu Gede Pancering Jagat. Dan yang boleh memasuki pelinggih tersebut hanya laki – laki saja. Itulah sejarah desa trunyan.
Jika dilihat dari sisi budaya masyarakat desa trunyan masih sangat tradisional terutama dari sisi upacara penguburan. Karena belum banyak terpengaruh dari dunia luar. Menyinggung masalah penguburan, masyarakat desa trunyan memiliki tradisi yang sangat unik dalam hal penguburan jenazah. Desa trunyan itu sendiri memiliki 4 jenis kuburan yaitu :
1.      Untuk yang meninggal adalah Bayi, maka mayatnya dikubur, lokasinya disebut Sema Muda, kira-kira 200 meter-an ke sebelah kanan dari sema wayah

2.      Untuk yang meninggal adalah orang yang kecelakaan, dibunuh atau bukan karena mati normal. Maka mereka anggap itu mempunyai kesalahan besar. Lokasi disebut sema bantas, tempatnya adalah di perbatasan antara desa Trunyan dan Desa abang. Letaknya Jauh dari desa trunyan.

3.      Untuk yang mati normal, Mayat mereka diberi kain putih dan hanya diletakan dibawah Taru Menyan [Pohon wangi]. Maksudnya mati normal adalah tidak punya salah/kesalahan sesuatu, diluar kreteria di atas dan lokasi kuburan ini disebut sema wayah. Mayat itu diletakan di atas tanah dengan lubang yang sangat dangkal kira-kira 10 - 20 cm. Tujuannya supaya tidak bergeser-geser karena bidang tanah ditempat itu tidaklah dapat disebut datar. Jumlah maksimum mayat yang diperkenankan ada di bawah pohon taru menyan adalah 11 mayat. Alasannya adalah mayat yang ke 12 dan seterusnya, akan berbau . Baunya tempo-tempo ada…tempo-tempo tidak. Bisa jadi itu disebabkan keterbatasan bau yang dapat diserap oleh taru menyan tersebut, yaitu kurang lebih sekitar 11 x 60 kg (asumsi berat rata-rata mayat) = 660 kg. Sehingga untuk menyerap mayat berikutnya menjadi tidak maksimal. Walaupun mayat itu mati normal sekalipun, namun jika tidak sepenuhnya bersih dalam artian bersih dari kesalahan, maka bau mayat akan tetap ada walaupun tempo-tempo ada dan tempo-tempo tidak. Bukan cuma itu, mayat yang ‘ada kesalahan’ itu, lebih cepat busuk dari mayat yang lain (rata-rata pembusukan normal adalah 2 bulanan). Penjelasan mengapa mayat yang menggeletak begitu saja di sema itu tidak menimbulkan bau padahal secara alamiah, tetap terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut ini disebabkan pohon Taru Menyan tersebut, yang bisa mengeluarkan bau harum dan mampu menetralisir bau busuk mayat. Taru berarti pohon, sedang Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan ini, hanya tumbuh di daerah ini.

4.      Kuburan ari- ari, tempat yang khusus untuk menaruh ari –ari. Lokasinya berada diujung timur desa Trunyan. Kuburan ini memiliki keunikan tersendiri. Ari – ari tersebut diletakkan didalam tempurung kelapa dan diikat dengan daun lontar kemudian digantung diatas pohon.  Tujuannya tidak lain adalah supaya ari – ari tersebut tidak dimakan binatang. Makna dari tempurung kelapa dan daun lontar tersebut adalah symbol ketradisionalan masyarakat desa trunyan. Namun seiring perkembangan zaman agaknya hal tersebut juga mengalami perubahan, masyarakat tidak lagi menggunakan serabut kelapa untuk membungkus ari – ari melainkan dengan keresek.

WANITA HINDU DIBALIK EPOS RAMAYANA


Membicarakan topik tentang wanita dikaitkan dengan masalah – maslah agama sungguh sesuatu yang menarik.  Menarik dalam artian banyak problema – problema yang dihadapi kaum hawa yang merupakan sumber permasalahan untuk dibahas serta diupayakan pemecahannya.  Namun rupa – rupanya masalah tetap adalah masalah dengn misterinya yang dari zaman ke zaman mengalami perubahan.  Dan menyinggung masalah penuh misteri ini, manusia dibuat tidak berdaya.
Manakala dunia ini dilanda oleh kekacauan moral, degradasi panutan, kaum wanita dicemarkan kehormatannya kemudian menjadi jalang.  Dalam situasi dan kondisi seperti itu, posisi kaum wanita dipertanyakan, baik dalam kehidupan sekular maupun peranannya dalam kehidupan yang dihubungkan dengan upacara dan upakara keagamaan. 
Di zaman modern seperti sekarang banyak hal yang kelihatannya telah meningkatkan posisi kaum wanita ke derajat yang lebih baik dari pada posisi yang dimilikinya dalam zaman atau abad sebelumnya yang dikenal dengan “Persamaan Gender”.  Namun dibalik itu semua masalah – masalah yang menyangkut kehormatan dan harga diri seseorang sebagai manusia bila ada hal – hal yang tercemar tuduhan sebagai penyebab atau kondemnasi akan senantiasa ditimpakan kepada kaum wanita.
Hampir dalam semua kasus besar dalam sejarah kaum wanita tidak mampu memecahkan permasalahan.  Ia tidak mampu mengutuk seorang pria apabila masih terbayang harapan di depan mata.  Harapan untuk menjaga keseimbangan sekaligus sebagai mata timbangan yang menjaga sampai kedua sisi timbangan dapat seimbang dan sejajar merupakan impian abadi kaum wanita setiap zaman, sejak dahulu kala sampai kini di zaman modern sekarang.  Ini adala kodrat kedua kaum wanita yang dikenal sejarah
Namun dibalik semua itu wanita mempunyai ciri khas tersendiri.  Unsur keibuan dari seorang wanita melahirkan citra seorang wanita yang lemah lembut dan penuh cinta kasih  Sejarah mencatat bagaimana profil Wanita Hindu tergambar pada tokoh sita dalam cerita Ramayana.  Menurut orang arif bijaksana, usia Ramayana lebih tua daripada Mahabharata , sudah ada sejak 3.000 tahun lalu.  Yang mana mengisahkan kesetiaan seorang wanita terhadap suaminya walaupun bagaimana ujian yang dialaminya.  Bagi umat Hindu, Devi Sita adalah perlambang wanita utuh, suci , teguh dalam penderitaan, selalu setia, selalu murni dalam pikiran, kata dan perbuatan , tidak pernah mengucapkan kata – kata negatif terhadap suaminya, Rama.  Baginya kata – kata mutiara Hindu “ Bila engkau dilukai seseorang, lalu engkau kembali melukai dia luka petama dan luka kedua menambah kematian di dunia ini”, merupakan pegangan hidup.  Terbukti ketika ia menemani suaminya hidup di hutan selama 14 tahun dengan ditemani oleh Laksmana saudara Rama suaminya.  Begitu banyak penderitaan yang ia alami namun ia tetap teguh dalam peneritaan dan tetap setia menemani suaminya.  Bila anak wanita dilahirkan dalamm keluarga Hindu, doa pertama adalah “Tumbuhlah Engkau Sebagai Devi Sita.”  Kalau ada anak perempuan dinikahkan, doa baginya “ Jadilah Engaku Devi Sita.  Inilah  doa penuh formula magis, dalam Agama Hindu bagi seorang wanita.  Di siniah peran epos Ramayana dalam kehidupan wanita Hindu.